Sudah lama kuperhatikan
suamiku. Sering kali kubertanya, apakah suamiku cinta dan sayang padaku? Mengapa
demikian? Karena sejak awal berjumpa hingga akhirnya menikah dan sampai sekarang,
suamiku tidak pernah memuji maupun bersikap romantis kepadaku. Suamiku lebih
memilih untuk sering memberikan kritikan atas segala kecerobohanku yang
berlandaskan alasan lupa atau tergesa-gesa saat lupa merapikan dapur, lupa
menaruh barang, dan masih banyak atas lupa lainnya.
Coba bayangkan,
bagaimana rasanya jika sebagai istri hanya mendengar suami memuji oranglain di
dekat telingamu. “Dek, istrinya Pak A
cantik ya ... padahal nggak pernah dandan,” kata suamiku ringan. “Eh ... iya, Mas,” jawabku terkejut.
Lain waktu, saat pulang dari acara seminar, tiba-tiba saja ia berkata, “Mbak B itu aktif banget orangnya, selain
menjadi guru SMK, dia sering ikut kegiatan-kegiatan organisasi dan akrab banget
sama murid-muridnya.” Aku hanya diam tertegun. Bukan Cuma itu, setelah
rapat lalu menjeputku pulang kerja, Suamiku dengan polos berkata, “Dek, tahu Si C kan? Dia itu selalu rapi pakaiannya meski pakaiannya
itu biasa saja, tapi terlihat anggun.” Untung saja semua wanita yang ia
puji sudah ada empunya. Jadi aku tidak perlu cemburu berat—meski, sih, agak
cemburu dan dongkol.
Sejak itu, aku selalu
ikut serta dalam kegiatan-kegiatan suamiku baik sarasehan, seminar maupun
pelatihan, yang akhirnya membawaku akrab dengan semua temannya. Selang beberapa
bulan kemudian, suamiku memulai lagi membicarakan orang-orang yang dahulu ia
puji. Aku terkejut tak terkira dibuatnya. “Dek,
Mbak B nggak profesional banget, ia suka kalau menjadi pengurus inti, tapi nggak
bertanggungjawab atas tugasnya, alasan inilah itulah, boleh sih kayak gitu tapi
ya kalau nggak bisa ngerjain, mbok ya bilang ma yang lain sebelum dateline-nya.
Jadi kan yang lain bisa nggantiin tugasnya, dan pekerjaan bisa kelar tepat
waktu tanpa grusa-grusu ngrampunginnya.” Aku cuma bisa mengangguk setuju
atas uneg-unegnya. Di lain waktu, setelah usai acara sarasehan, aku yang
mengutarakan uneg-unegku, “Mas, Masak Si
C itu kalau bicara kata-katanya atos banget, suka ceplas ceplos kalau ngomong,
kayak nggak mikirin perasaan yang diajak ngomong”.
“Aku
lebih ngerti karakternya Si C, Dek ... lha wong aku udah kenal dia sejak masih
kuliah dan jadi adik angkatanku. Dia itu emang orangnya keras”, sahut
Suamiku. Setelah percakapan dengan
suamiku itu, aku pun sering termangu, apa sih maksud suamiku selama ini. Aku
selalu terkecoh dibuatnya. Bukan hanya itu, aku dibuatnya bertanya-tanya.
Suamiku tidak pernah
mengatakan kata-kata manis bujuk rayu untukku. Baik untuk menghiburku maupun
tulus apa adanya—menurutku, sih. Walaupun begitu, dia tak segan-segan membantuku memasak di
dapur tanpa disuruh. Dia juga selalu menimbakan air untuk aku mencuci pakaian
ataupun untukku mandi. Dia selalu memanaskan mesin sepeda motorku sebelum kuberangkat
kerja dan selalu ikut mencuci pakaian jika banyak sekali cucianku serta selalu
memberikan apa yang aku butuhkan/inginkan tanpa aku memintanya.
Setelah lama sekali batinku
bertanya, kumulai berfikir lalu merunut kejadian-kejadian yang telah kulalui selama
ini. Ku baru tersadar maksud dari semua itu setelah usai acara seminar tentang gender. Suamiku ternyata lebih dari
sekedar perhatian tapi ia sangat sayang dan cinta kepadaku. Rasa cinta yang
dibuktikannya selama ini ternyata lebih bernilai dari sekedar ungkapan
kata-kata rayuan manis yang selalu aku tunggu-tunggu namun tak kunjung ada. Aku
mulai belajar kedewasaan dalam bercinta kasih dengannya. Ternyata, ia lebih mengerti karakterku
ketimbang aku. Ia mendidikku dengan cara yang aku sendiri tidak sadar jika ku sedang
dididik. Dengan cara demikian, ku lebih mudah untuk diberi pengarahan. Pembicaraan-Pembicaraannya
selama ini ingin mengajarkan bahwa semua orang punya kelebihan dan
kekurangannya masing-masing jangan sampai kekurangan orang lain mengukung
langkahmu untuk berbuat baik serta jangan dijadikan bahan mempersulit diri yang
nantinya akan membuat hati dan pikiran kotor. Selama ini, ternyata ia ingin
tahu bagaimana reaksiku atas pernyataan-pernyataannya, serta ia lebih suka
langsung bertindak daripada berkata manis seperti aku sayang/cinta kamu. Sungguh
pelajaran yang tak terduga.
Kini, Aku sangat yakin
bahwa ia sangat mencintai dan menyayangiku karena ternyata jarang sekali
seorang suami mau turut andil dalam membantu pekerjaan rumah sang istri. Hal
ini baru kusadari saat mengikuti seminar yang membahas masalah-masalah gender dalam kehidupan. Kini, kubelajar
menerima karakter suamiku yang demikian, yang terpenting ialah bukti
kecintaannya bukan kata-kata manis pujian dan rayuan. Ya, memang cara seorang
suami mengekspresikan rasa cintanya berbeda-beda, salah satunya seperti suamiku
ini.
Telah kutemukan jawaban
atas segala tanya dan ternyata jawabannya telah terselip disetiap penantianku
kala menunggu kepulangannya setiap hari. Namun, ku tak menyadarinya. Bukankah
buah dari ketulusan cinta dan sayangnya adalah istri yang selalu menantikan dan
merindukan kehadirannya? Tetapi, mengapa kupertanyakan hanya karena ia tak
pernah mengutarakan rasa cinta, padahal manis buahnya telah kukecap setiap
harinya. Cinta ternyata tak butuh alasan. Ia muncul dengan sendirinya melalui
benih niat tulus dan tujuan yang mulia saat berkomitmen.
Tulisan ini dimuat di Majalah Potret Edisi 72

2 komentar
Kisah hikmah yang mesti menjadi pelajaran terutama bagi pasangan rumah tangga agar saling menghargai cinta...
BalasHapusSalam kenal dari Pulau Dollar
Trimakasih kunjungannya.. salam kenal kembali.. :D
BalasHapus