Indonesia memang kaya budaya,
setiap daerah memiliki budayanya masing-masing. Peribahasa jawa menyebutnya, “Desa
mawa cara, Negara mawa tata.” Yang artinya desa mempunyai adat sendiri dan Negara
memiliki tatanan aturan atau hukum tertentu.
Kali ini saya ingin membahas
budaya sapaan yang terkadang membuat canggung si penyandang sapaan tersebut. Seperti
dalam keluarga saya yang notabene orang Jawa. Alam (anak saya) yang baru
berumur 2 tahun 3 bulan, sudah mulai dibiasakan memanggil Aini (Adik saya) yang
berumur 8 tahun, dengan sapaan “lek”. Lalu memanggil Dedi (Saudara Sepupu saya)
yang belum menikah, dengan sapaan “Pakdhe”.
Hal ini sangat membuat canggung
si penerima sapaan tersebut. Sapaan itu semua diberikan berdasarkan garis
keturunan. Bila tidak ada hubungan saudara, Aini cocoknya dipanggil “Mbak”
karena masih muda. Dan Dedi cocoknya dipanggil Om, karena belum menikah. Haha.
Kali ini mata saya terbuka. Ternyata
tak hanya orang jawa yang memiliki kata panggilan sapaan kepada keluarga maupun
saudara kerabatnya yang terkadang membuat canggung si penyandang sapaan
tersebut. Pastilah masih ada adat-adat sejenis di daerah lainnya. Namun kali
ini saya ingin membahas sedikit adat sapaan Orang Batak.
Saya tahu adat ini berkat salah
satu postingan menarik dari Anita D’caritas (nama popularnya di jagat blogger)
di rumah mayanya www.anitadcaritas.blogspot.co.id yang berjudul “Panggil Aku Butet”.
Dalam cerita fiksi tersebut Anita D’caritas
yang memiliki nama asli Anita Carolina Tampubolon bercerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Batak pada umumnya yang terwakilkan dengan tokohnya, seorang gadis bernama Marisa Sat yang memiliki panggilan “Butet”
yang disandangnya. Layaknya warisan, panggilan “Butet” ini pun turun temurun
diberikan, mulai dari kakak pertama, kakak ke dua, kakak ke tiga, kakak ke
empat, kakak ke lima, dan kini Marisa Sat mendapat giliran menyandangnya.
Ia dipanggil dengan sapaan sayang
tersebut oleh ayahnya. Sebenarnya senang sekali mendapat giliran tersebut,
namun memang sedikit canggung, karena seolah nama aslinya sedikit tersamarkan
dan hilang. Karena selalu dipanggil “Butet” dalam situasi apapun. Seolah “Butet”
itulah nama aslinya. Hingga terpikirkan apakah panggilan “Butet” ini akan
hilang setelah kedua orangtuanya memiliki “Ucok”?
Sampai suatu masa, kakak-kakak
Marisa Sat telah memiliki suami satu per satu. Dan kini ia mendapat kesempatan
menyenangkan memanggil kakak-kakak ipar laki-lakinya tersebut dengan panggilan “Ucok”.
Serasa menang lomba, akhirnya sapaan yang mampu memberi efek canggung tersebut
bisa diberikan ke semua kakak iparnya. Hehe.
Itu tadi sekilas kesamaan efek adat suatu daerah yang sampai sekarang masih bisa kita rasakan. Terlepas dari rasa canggung, adat panggilan sapaan tersebut adalah simbol bagaimana daerah kita sangat menghormati dan mengasihi saudara-saudaranya serta menjaga keutuhan keharmonisan bersama.
Berikut sekilas profil Mbak Anita, seorang penulis sekaligus Bidan. Selain cerita fiksi tersebut, Mbak Anita sangat terlihat cinta daerah asalnya, Batak. Ibu satu anak ini tampak cantik dengan balutan pakaian adat Batak saat Festival Tortor Agustus 2014 yang diikutinya.
Berikut sekilas profil Mbak Anita, seorang penulis sekaligus Bidan. Selain cerita fiksi tersebut, Mbak Anita sangat terlihat cinta daerah asalnya, Batak. Ibu satu anak ini tampak cantik dengan balutan pakaian adat Batak saat Festival Tortor Agustus 2014 yang diikutinya.
![]() |
| dok. Anita |
![]() |
| dok. Anita |
![]() |
| dok. Anita |




2 komentar
Terimakasih tulisannya Mba Sarah :)
BalasHapusIndonesia ragam budaya, sapaan di setiap daerah juga berbeda-beda. Senang bisa tau juga sapaan yang sering diucapkan bagi masyarakat Jawa...
Paling suka tulisan yang nyeritain kekayaan Indonesia :)) Makasih banyak mbaaak :D
BalasHapusSalam,
Senya